Nabi Muhammad SAW adalah nabi pembawa risalah Islam,
rasul terakhir penutup rangkaian nabi-nabi dan rasul-rasul Allah SWT di muka
bumi. Ia adalah salah seorang dari yang tertinggi di antara 5 rasul yang
termasuk dalam golongan Ulul Azmi atau mereka yang mempunyai keteguhan hati
(QS. 46: 35). Keempat rasul lainnya dalam Ulul Azmi tsb ialah Ibrahim AS, Musa
AS, Isa AS, dan Nuh AS.
Kelahiran Nabi Muhammad SAW
Masa pengasuhan Haliman binti Abi Du'aib as-Sa'diyah
Tanda-tanda kenabian
Gelar al-Amin
Pernikahan dengan Khadijah
Wahyu pertama
Dakwah Nabi Muhammad SAW
Aksi-aksi menentang Dakwah Nabi Muhammad SAW
Peristiwa Isra Mi'raj
Hijrah
Terbentuknya Negara Madinah
Perang Badr
Perang Uhud
Perang Khandaq
Perjanjian Hudaibiyah
Penyebaran Islam ke negeri-negeri lain
Kembali ke Mekah
Ibadah haji terakhir
Kembali ke Madinah
Wafatnya Nabi SAW
Ummul Mukminin
Masa pengasuhan Haliman binti Abi Du'aib as-Sa'diyah
Tanda-tanda kenabian
Gelar al-Amin
Pernikahan dengan Khadijah
Wahyu pertama
Dakwah Nabi Muhammad SAW
Aksi-aksi menentang Dakwah Nabi Muhammad SAW
Peristiwa Isra Mi'raj
Hijrah
Terbentuknya Negara Madinah
Perang Badr
Perang Uhud
Perang Khandaq
Perjanjian Hudaibiyah
Penyebaran Islam ke negeri-negeri lain
Kembali ke Mekah
Ibadah haji terakhir
Kembali ke Madinah
Wafatnya Nabi SAW
Ummul Mukminin
Kelahiran Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW adalah anggota Bani Hasyim, sebuah kabilah yang paling mulia dalam suku Quraisy yang mendominasi masyarakat Arab. Ayahnya bernama Abdullah Muttalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya bernama Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Baik dari garis ayah maupun garis ibu, silsilah Nabi Muhammad SAW sampai kepada Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.
Nabi Muhammad SAW adalah anggota Bani Hasyim, sebuah kabilah yang paling mulia dalam suku Quraisy yang mendominasi masyarakat Arab. Ayahnya bernama Abdullah Muttalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya bernama Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Baik dari garis ayah maupun garis ibu, silsilah Nabi Muhammad SAW sampai kepada Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.
Tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW dikenal dengan nama
Tahun Gajah, karena pada tahun itu terjadi peristiwa besar, yaitu datangnya
pasukan gajah menyerbu Mekah dengan tujuan menghancurkan Ka'bah. Pasukan itu
dipimpin oleh Abrahah, gubernur Kerajaan Habsyi di Yaman. Abrahah ingin
mengambil alih kota Mekah dan Ka'bahnya sebagai pusat perekonomian dan
peribadatan bangsa Arab. Ini sejalan dengan keingin Kaisar Negus dari Ethiopia
untuk menguasai seluruh tanah Arab, yang bersama-sama dengan Kaisar Byzantium
menghadapi musuh dari timur, yaitu Persia (Irak).
Dalam penyerangan Ka'bah itu, tentara Abrahah hancur
karena terserang penyakit yang mematikan yang dibawa oleh burung Ababil yang
melempari tentara gajah. Abrahah sendiri lari kembali ke Yaman dan tak lama
kemudian meninggal dunia.
Peristiwa ini dikisahkan dalam Al-Qur'an surat Al-Fîl: 1-5.
Peristiwa ini dikisahkan dalam Al-Qur'an surat Al-Fîl: 1-5.
Beberapa bulan setelah penyerbuan tentara gajah, Aminah
melahirkan seorang bayi laki-laki, yang diberi nama Muhammad. Ia lahir pada
malam menjelang dini hari Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, bertepatan dengan
20 April 570 M. Saat itu ayah Muhammad, Abdullah, telah meninggal dunia.
Nama Muhammad diberikan oleh kakeknya, Abdul Muttalib.
Nama itu sedikit ganjil di kalangan orang-orang Quraisy, karenanya mereka
berkata kepada Abdul Muttalib, "Sungguh di luar kebiasaan, keluarga Tuan
begitu besar, tetapi tak satu pun yang bernama demikian." Abdul Muttalib
menjawab, "Saya mengerti. Dia memang berbeda dari yang lain. Dengam nama
ini saya ingin agar seluruh dunia memujinya."
Masa pengasuhan Haliman binti Abi Du'aib as-Sa'diyah
Adalah suatu kebiasaan di Mekah, anak yang baru lahir diasuh dan disusui oleh wanita desa dengan maksud supaya ia bisa tumbuh dalam pergaulan masyarakat yang baik dan udara yang lebih bersih. Saat Muhammad lahir, ibu-ibu dari desa Sa'ad datang ke Mekah menghubungi keluarga-keluarga yang ingin menyusui anaknya. Desa Sa'ad terletak kira-kira 60 km dari Mekah, dekat kota Ta'if, suatu wilayah pegunungan yang sangat baik udaranya.
Adalah suatu kebiasaan di Mekah, anak yang baru lahir diasuh dan disusui oleh wanita desa dengan maksud supaya ia bisa tumbuh dalam pergaulan masyarakat yang baik dan udara yang lebih bersih. Saat Muhammad lahir, ibu-ibu dari desa Sa'ad datang ke Mekah menghubungi keluarga-keluarga yang ingin menyusui anaknya. Desa Sa'ad terletak kira-kira 60 km dari Mekah, dekat kota Ta'if, suatu wilayah pegunungan yang sangat baik udaranya.
di antara ibu-ibu tsb terdapat seorang wanita bernama
Halimah binti Abu Du'aib as Sa'diyah. Keluarga Halimah tergolong miskin,
karenanya ia sempat ragu untuk mengasuh Muhammad karena keluarga Aminah sendiri
juga tidak terlalu kaya. Akan tetapi entah mengapa bayi Muhammad sangat menawan
hatinya, sehingga akhirnya Halimah pun mengambil Muhammad SAW sebagai anak
asuhnya.
Ternyata kehadiran Muhammad SAW sangat membawa berkah
pada keluarga Halimah. Dikisahkan bahwa kambing peliharaan Haris, suami
Halimah, menjadi gemuk-gemuk dan menghasilkan susu lebih banyak dari biasanya.
Rumput tempat menggembala kambing itu juga tumbuh subur. Kehidupan keluarga
Halimah yang semula suram berubah menjadi bahagia dan penuh kedamaian. Mereka
yakin sekali bahwa bayi dari Mekah yang mereka asuh itulah yang membawa berkah
bagi kehidupan mereka.
Tanda-tanda kenabian
Sejak kecil Muhammad SAW telah memperlihatkan keistimewaan yang sangat luar biasa.
Usia 5 bulan ia sudah pandai berjalan, usia 9 bulan ia sudah mampu berbicara. Pada usia 2 tahun ia sudah bisa dilepas bersama anak-anak Halimah yang lain untuk menggembala kambing. Saat itulah ia berhenti menyusu dan karenanya harus dikembalikan lagi pada ibunya. Dengan berat hati Halimah terpaksa mengembalikan anak asuhnya yang telah membawa berkah itu, sementara Aminah sangat senang melihat anaknya kembali dalam keadaan sehat dan segar.
Sejak kecil Muhammad SAW telah memperlihatkan keistimewaan yang sangat luar biasa.
Usia 5 bulan ia sudah pandai berjalan, usia 9 bulan ia sudah mampu berbicara. Pada usia 2 tahun ia sudah bisa dilepas bersama anak-anak Halimah yang lain untuk menggembala kambing. Saat itulah ia berhenti menyusu dan karenanya harus dikembalikan lagi pada ibunya. Dengan berat hati Halimah terpaksa mengembalikan anak asuhnya yang telah membawa berkah itu, sementara Aminah sangat senang melihat anaknya kembali dalam keadaan sehat dan segar.
Namun tak lama setelah itu Muhammad SAW kembali diasuh
oleh Halimah karena terjadi wabah penyakit di kota Mekah. Dalam masa asuhannya
kali ini, baik Halimah maupun anak-anaknya sering menemukan keajaiban di
sekitar diri Muhammad SAW. Anak-anak Halimah sering mendengar suara yang
memberi salam kepada Muhammad SAW, "Assalamu 'Alaika ya Muhammad,"
padahal mereka tidak melihat ada orang di situ.
Dalam kesempatan lain, Dimrah, anak Halimah, berlari-lari sambil menangis dan mengadukan bahwa ada dua orang bertubuh besar-besar dan berpakaian putih menangkap Muhammad SAW. Halimah bergegas menyusul Muhammad SAW. Saat ditanyai, Muhammad SAW menjawab, "Ada 2 malaikat turun dari langit. Mereka memberikan salam kepadaku, membaringkanku, membuka bajuku, membelah dadaku, membasuhnya dengan air yang mereka bawa, lalu menutup kembali dadaku tanpa aku merasa sakit."
Dalam kesempatan lain, Dimrah, anak Halimah, berlari-lari sambil menangis dan mengadukan bahwa ada dua orang bertubuh besar-besar dan berpakaian putih menangkap Muhammad SAW. Halimah bergegas menyusul Muhammad SAW. Saat ditanyai, Muhammad SAW menjawab, "Ada 2 malaikat turun dari langit. Mereka memberikan salam kepadaku, membaringkanku, membuka bajuku, membelah dadaku, membasuhnya dengan air yang mereka bawa, lalu menutup kembali dadaku tanpa aku merasa sakit."
Halimah sangat gembira melihat keajaiban-keajaiban pada
diri Muhammad SAW, namun karena kondisi ekonomi keluarganya yang semakin
melemah, ia terpaksa mengembalikan Muhammad SAW, yang saat itu berusia 4 tahun,
kepada ibu kandungnya di Mekah.
Dalam usia 6 tahun, Nabi Muhammad SAW telah menjadi
yatim-piatu. Aminah meninggal karena sakit sepulangnya ia mengajak Muhammad SAW
berziarah ke makam ayahnya. Setelah kematian Aminah, Abdul Muttalib mengambil
alih tanggung jawab merawat Muhammad SAW. Namun kemudian Abdul Muttalib pun
meninggal, dan tanggung jawab pemeliharaan Muhammad SAW beralih pada pamannya,
Abi Thalib.
Ketika berusia 12 tahun, Abi Thalib mengabulkan
permintaan Muhammad SAW untuk ikut serta dalam kafilahnya ketika ia memimpin
rombongan ke Syam (Suriah). Usia 12 tahun sebenarnya masih terlalu muda untuk
ikut dalam perjalanan seperti itu, namun dalam perjalanan ini kembali terjadi
keajaiban yang merupakan tanda-tanda kenabian Muhammad SAW.
Segumpal awan terus menaungi Muhammad SAW sehingga panas
terik yang membakar kulit tidak dirasakan olehnya. Awan itu seolah mengikuti
gerak kafilah rombongan Muhammad SAW. Bila mereka berhenti, awan itu pun ikut
berhenti. Kejadian ini menarik perhatian seorang pendeta Kristen bernama
Buhairah yang memperhatikan dari atas biaranya di Busra. Ia menguasai betul isi
kitab Taurat dan Injil. Hatinya bergetar melihat dalam kafilah itu terdapat
seorang anak yang terang benderang sedang mengendarai unta. Anak itulah yang
terlindung dari sorotan sinar matahari oleh segumpal awan di atas kepalanya.
"Inilah Roh Kebenaran yang dijanjikan itu," pikirnya.
Pendeta itu pun berjalan menyongsong iring-iringan
kafilah itu dan mengundang mereka dalam suatu perjamuan makan. Setelah
berbincang-bincang dengan Abi Thalib dan Muhammad SAW sendiri, ia semakin yakin
bahwa anak yang bernama Muhammad adalah calon nabi yang ditunjuk oleh Allah
SWT. Keyakinan ini dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa di belakang bahu
Muhammad SAW terdapat sebuah tanda kenabian.
Saat akan berpisah dengan para tamunya, pendeta Buhairah
berpesan pada Abi Thalib, "Saya berharap Tuan berhati-hati menjaganya.
Saya yakin dialah nabi akhir zaman yang telah ditunggu-tunggu oleh seluruh umat
manusia. Usahakan agar hal ini jangan diketahui oleh orang-orang Yahudi. Mereka
telah membunuh nabi-nabi sebelumnya. Saya tidak mengada-ada, apa yang saya
terangkan itu berdasarkan apa yang saya ketahui dari kitab Taurat dan Injil.
Semoga tuan-tuan selamat dalam perjalanan."
Apa yang dikatakan oleh pendeta Kristen itu membuat Abi
Thalib segera mempercepat urusannya di Suriah dan segera pulang ke Mekah.
Gelar al-Amin
Pada usia 20 tahun, Muhammad SAW mendirikan Hilful-Fudûl, suatu lembaga yang bertujuan membantu orang-orang miskin dan teraniaya. Saat itu di Mekah memang sedang kacau akibat perselisihan yang terjadi antara suku Quraisy dengan suku Hawazin. Melalui Hilful-Fudûl inilah sifat-sifat kepemimpinan Muhammad SAW mulai tampak. Karena aktivitasnya dalam lembaga ini, disamping ikut membantu pamannya berdagang, namanya semakin terkenal sebagai orang yang terpercaya. Relasi dagangnya semakin meluas karena berita kejujurannya segera tersiar dari mulut ke mulut, sehingga ia mendapat gelar Al-Amîn, yang artinya orang yang terpercaya.
Pada usia 20 tahun, Muhammad SAW mendirikan Hilful-Fudûl, suatu lembaga yang bertujuan membantu orang-orang miskin dan teraniaya. Saat itu di Mekah memang sedang kacau akibat perselisihan yang terjadi antara suku Quraisy dengan suku Hawazin. Melalui Hilful-Fudûl inilah sifat-sifat kepemimpinan Muhammad SAW mulai tampak. Karena aktivitasnya dalam lembaga ini, disamping ikut membantu pamannya berdagang, namanya semakin terkenal sebagai orang yang terpercaya. Relasi dagangnya semakin meluas karena berita kejujurannya segera tersiar dari mulut ke mulut, sehingga ia mendapat gelar Al-Amîn, yang artinya orang yang terpercaya.
Selain itu ia juga terkenal sebagai orang yang adil dan
memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Suatu ketika bangunan Ka'bah rusak
karena banjir. Penduduk Mekah kemudian bergotong-royong memperbaiki Ka'bah.
Saat pekerjaan sampai pada pengangkatan dan peletakan Hajar Aswad ke tempatnya
semula, terjadi perselisihan. Masing-masing suku ingin mendapat kehormatan
untuk melakukan pekerjaan itu. Akhirnya salah satu dari mereka kemudian
berkata, "Serahkan putusan ini pada orang yang pertama memasuki pintu
Shafa ini."
Mereka semua menunggu, kemudian tampaklah Muhammad SAW muncul dari sana. Semua hadirin berseru, "Itu dia al-Amin, orang yang terpercaya. Kami rela menerima semua keputusannya."
Mereka semua menunggu, kemudian tampaklah Muhammad SAW muncul dari sana. Semua hadirin berseru, "Itu dia al-Amin, orang yang terpercaya. Kami rela menerima semua keputusannya."
Setelah mengerti duduk perkaranya, Muhammad SAW lalu
membentangkan sorbannya di atas tanah, dan meletakkan Hajar Aswad di
tengah-tengah, lalu meminta semua kepala suku memegang tepi sorban itu dan
mengangkatnya secara bersama-sama. Setelah sampai pada ketinggian yang
diharapkan, Muhammad SAW meletakkan batu itu pada tempatnya semula. Dengan
demikian selesailah perselisihan di antara suku-suku tsb dan mereka pun puas
dengan cara penyelesaian yang sangat bijak itu.
Pernikahan dengan Khadijah
Pada usia 25 tahun, atas permintaan Khadijah binti Khuwailid, seorang saudagar kaya raya, Muhammad SAW berangkat ke Suriah membawa barang dagangan saudagar wanita yang telah lama menjanda itu. Ia dibantu oleh Maisaroh, seorang pembantu lelaki yang telah lama bekerja pada Khadijah. Sejak pertemuan pertama dengan Muhammad SAW, Khadijah telah menaruh simpati melihat penampilan Muhammad SAW yang sopan itu. Kekagumannya semakin bertambah mengetahui hasil penjualan yang dicapai Muhammad SAW di Suriah melebihi perkiraannya.
Pada usia 25 tahun, atas permintaan Khadijah binti Khuwailid, seorang saudagar kaya raya, Muhammad SAW berangkat ke Suriah membawa barang dagangan saudagar wanita yang telah lama menjanda itu. Ia dibantu oleh Maisaroh, seorang pembantu lelaki yang telah lama bekerja pada Khadijah. Sejak pertemuan pertama dengan Muhammad SAW, Khadijah telah menaruh simpati melihat penampilan Muhammad SAW yang sopan itu. Kekagumannya semakin bertambah mengetahui hasil penjualan yang dicapai Muhammad SAW di Suriah melebihi perkiraannya.
Akhirnya Khadijah mengutus Maisaroh dan teman karibnya,
Nufasah untuk menyampaikan isi hatinya kepada Muhammad SAW. Khadijah yang
berusia 40 tahun, melamar Muhammad SAW untuk menjadi suaminya.
Setelah bermusyawarah dengan keluarganya, lamaran itu akhirnya diterima dan dalam waktu dekat segera diadakan upacara pernikahan dengan sederhana. yang hadir dalam acara itu antara lain Abi Thalib, Waraqah bin Nawfal dan Abu Bakar as-Siddiq.
Setelah bermusyawarah dengan keluarganya, lamaran itu akhirnya diterima dan dalam waktu dekat segera diadakan upacara pernikahan dengan sederhana. yang hadir dalam acara itu antara lain Abi Thalib, Waraqah bin Nawfal dan Abu Bakar as-Siddiq.
Pernikahan bahagia itu dikaruniai 6 orang anak, terdiri
dari 2 anak lelaki bernama Al-Qasim dan Abdullah, dan 4 anak perempuan bernama
Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalsum, dan Fatimah. Kedua anak lelakinya meninggal
selagi masih kecil. Nabi Muhammad SAW tidak menikah lagi sampai Khadijah
meninggal, saat Muhammad SAW berusia 50 tahun.
Dalam kehidupan rumah-tangganya dengan Khadijah, Muhammad
SAW tidak pernah menyakiti hati istrinya. Sebaliknya istrinya pun ikhlas
menyerahkan segalanya pada suaminya. Kekayaan istrinya digunakan oleh Muhammad
SAW untuk membantu orang-orang miskin dan tertindas. Budak-budak yang telah
dimiliki Khadijah sebelum pernikahan mereka, semuanya ia bebaskan, salah
satunya adalah Zaid bin Haritsah yang kemudian menjadi anak angkatnya.
Wahyu pertama
Menjelang usianya yang ke-40, Nabi Muhammad SAW sering berkhalwat (menyendiri) ke Gua Hira, sekitar 6 km sebelah timur kota Mekah. Ia bisa berhari-hari bertafakur dan beribadah disana. Suatu ketika, pada tanggal 17 Ramadhan/6 Agustus 611, ia melihat cahaya terang benderang memenuhi ruangan gua itu. Tiba-tiba Malaikat Jibril muncul di hadapannya sambil berkata, "Iqra' (bacalah)." Lalu Muhammad SAW menjawab, "Mâ anâ bi qâri' (saya tidak dapat membaca)." Mendengar jawaban Muhammad SAW, Jibril lalu memeluk tubuh Muhammad SAW dengan sangat erat, lalu melepaskannya dan kembali menyuruh Muhammad SAW membaca. Namun setelah dilakukan sampai 3 kali dan Muhammad SAW tetap memberikan jawaban yang sama, Malaikat Jibril kemudian menyampaikan wahyu Allah SWT pertama, yang artinya:
Menjelang usianya yang ke-40, Nabi Muhammad SAW sering berkhalwat (menyendiri) ke Gua Hira, sekitar 6 km sebelah timur kota Mekah. Ia bisa berhari-hari bertafakur dan beribadah disana. Suatu ketika, pada tanggal 17 Ramadhan/6 Agustus 611, ia melihat cahaya terang benderang memenuhi ruangan gua itu. Tiba-tiba Malaikat Jibril muncul di hadapannya sambil berkata, "Iqra' (bacalah)." Lalu Muhammad SAW menjawab, "Mâ anâ bi qâri' (saya tidak dapat membaca)." Mendengar jawaban Muhammad SAW, Jibril lalu memeluk tubuh Muhammad SAW dengan sangat erat, lalu melepaskannya dan kembali menyuruh Muhammad SAW membaca. Namun setelah dilakukan sampai 3 kali dan Muhammad SAW tetap memberikan jawaban yang sama, Malaikat Jibril kemudian menyampaikan wahyu Allah SWT pertama, yang artinya:
Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Menciptakan.
Ia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah yang Paling
Pemurah. yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. 96: 1-5)
Saat itu Muhammad SAW berusia 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun kamariah (penanggalan berdasarkan bulan), atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun syamsiah (penanggalan berdasarkan matahari). Dengan turunnya 5 ayat pertama ini, berarti Muhammad SAW telah dipilih oleh Allah SWT sebagai rasul.
Saat itu Muhammad SAW berusia 40 tahun 6 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun kamariah (penanggalan berdasarkan bulan), atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun syamsiah (penanggalan berdasarkan matahari). Dengan turunnya 5 ayat pertama ini, berarti Muhammad SAW telah dipilih oleh Allah SWT sebagai rasul.
Setelah pengalaman luar biasa di Gua Hira tsb, dengan
rasa ketakutan dan cemas Nabi Muhammad SAW pulang ke rumah dan berseru pada
Khadijah, "Selimuti aku, selimuti aku." Sekujur tubuhnya terasa panas
dan dingin berganti-ganti. Setelah lebih tenang, barulah ia bercerita kepada
istrinya. Untuk lebih menenangkan hati suaminya, Khadijah mengajak Nabi
Muhammad SAW datang pada saudara sepupunya, Waraqah bin Naufal, yang banyak
mengetahui kitab-kitab suci Kristen dan Yahudi. Mendengar cerita yang dialami
Nabi Muhammad SAW, Waraqah pun berkata, "Aku telah bersumpah dengan nama
Tuhan, yang dalam tangan-Nya terletak hidup Waraqah, Tuhan telah memilihmu
menjadi nabi kaum ini. An-Nâmûs al-Akbar (Malaikat Jibril) telah datang kepadamu.
Kaummu akan mengatakan bahwa engkau penipu, mereka akan memusuhimu, dan mereka
akan melawanmu. Sungguh, sekiranya aku dapat hidup pada hari itu, aku akan
berjuang membelamu."
Dakwah Nabi Muhammad SAW
Wahyu berikutnya adalah surat Al-Muddatsir: 1-7, yang artinya:
Wahyu berikutnya adalah surat Al-Muddatsir: 1-7, yang artinya:
Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu
berilah peringatan! dan Rabbmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan
perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi
(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi
perintah) Rabbmu, bersabarlah. (QS. 74: 1-7)
Dengan turunnya surat Al-Muddatsir ini, mulailah Rasulullah SAW berdakwah. Mula-mula ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi di lingkungan keluarga dan rekan-rekannya. Orang pertama yang menyambut dakwahnya adalah Khadijah, istrinya. Dialah yang pertama kali masuk Islam. Menyusul setelah itu adalah Ali bin Abi Thalib, saudara sepupunya yang kala itu baru berumur 10 tahun, sehingga Ali menjadi lelaki pertama yang masuk Islam. Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Baru kemudian diikuti oleh Zaid bin Haritsah, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya, dan Ummu Aiman, pengasuh Nabi SAW sejak ibunya masih hidup.
Dengan turunnya surat Al-Muddatsir ini, mulailah Rasulullah SAW berdakwah. Mula-mula ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi di lingkungan keluarga dan rekan-rekannya. Orang pertama yang menyambut dakwahnya adalah Khadijah, istrinya. Dialah yang pertama kali masuk Islam. Menyusul setelah itu adalah Ali bin Abi Thalib, saudara sepupunya yang kala itu baru berumur 10 tahun, sehingga Ali menjadi lelaki pertama yang masuk Islam. Kemudian Abu Bakar, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Baru kemudian diikuti oleh Zaid bin Haritsah, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya, dan Ummu Aiman, pengasuh Nabi SAW sejak ibunya masih hidup.
Abu Bakar sendiri kemudian berhasil mengislamkan beberapa
orang teman dekatnya, seperti, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman
bin Auf, Sa'd bin Abi Waqqas, dan Talhah bin Ubaidillah. Dari dakwah yang masih
rahasia ini, belasan orang telah masuk Islam.
Setelah beberapa lama Nabi SAW menjalankan dakwah secara
diam-diam, turunlah perintah agar Nabi SAW menjalankan dakwah secara
terang-terangan. Mula-mula ia mengundang kerabat karibnya dalam sebuah jamuan.
Pada kesempatan itu ia menyampaikan ajarannya. Namun ternyata hanya sedikit
yang menerimanya. Sebagian menolak dengan halus, sebagian menolak dengan kasar,
salah satunya adalah Abu Lahab.
Langkah dakwah seterusnya diambil Nabi Muhammad SAW dalam
pertemuan yang lebih besar. Ia pergi ke Bukit Shafa, sambil berdiri di sana ia
berteriak memanggil orang banyak. Karena Muhammad SAW adalah orang yang
terpercaya, penduduk yakin bahwa pastilah terjadi sesuatu yang sangat penting,
sehingga mereka pun berkumpul di sekitar Nabi SAW.
Untuk menarik perhatian, mula-mula Nabi SAW berkata,
"Saudara-saudaraku, jika aku berkata, di belakang bukit ini ada pasukan
musuh yang siap menyerang kalian, percayakah kalian?"
Dengan serentak mereka menjawab, "Percaya, kami tahu saudara belum pernah berbohong. Kejujuran saudara tidak ada duanya. Saudara yang mendapat gelar al-Amin."
Kemudian Nabi SAW meneruskan, "Kalau demikian, dengarkanlah. Aku ini adalah seorang nazir (pemberi peringatan). Allah telah memerintahkanku agar aku memperingatkan saudara-saudara. Hendaknya kamu hanya menyembah Allah saja. Tidak ada Tuhan selain Allah. Bila saudara ingkar, saudara akan terkena azabnya dan saudara nanti akan menyesal. Penyesalan kemudian tidak ada gunanya."
Dengan serentak mereka menjawab, "Percaya, kami tahu saudara belum pernah berbohong. Kejujuran saudara tidak ada duanya. Saudara yang mendapat gelar al-Amin."
Kemudian Nabi SAW meneruskan, "Kalau demikian, dengarkanlah. Aku ini adalah seorang nazir (pemberi peringatan). Allah telah memerintahkanku agar aku memperingatkan saudara-saudara. Hendaknya kamu hanya menyembah Allah saja. Tidak ada Tuhan selain Allah. Bila saudara ingkar, saudara akan terkena azabnya dan saudara nanti akan menyesal. Penyesalan kemudian tidak ada gunanya."
Tapi khotbah ini ternyata membuat orang-orang yang
berkumpul itu marah, bahkan sebagian dari mereka ada yang mengejeknya gila. Pada
saat itu, Abu Lahab berteriak, "Celakalah engkau hai Muhammad. Untuk
inikah engkau mengumpulkan kami?"
Sebagai balasan terhadap ucapan Abu Lahab tsb turunlah ayat Al-Qur'an yang artinya:
Sebagai balasan terhadap ucapan Abu Lahab tsb turunlah ayat Al-Qur'an yang artinya:
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia
akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia
usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula)
isterinya, pembawa kayu bakar. yang di lehernya ada tali dari sabut. (QS. 111:
1-5)
Aksi-aksi menentang Dakwah Nabi Muhammad SAW
Reaksi-reaksi keras menentang dakwah Nabi SAW bermunculan, namun tanpa kenal lelah Nabi Muhammad SAW terus melanjutkan dakwahnya, sehingga hasilnya mulai nyata. Hampir setiap hari ada yang menggabungkan diri dalam barisan pemeluk agama Islam. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang miskin serta lemah. Meskipun sebagian dari mereka adalah orang-orang yang lemah, namun semangat yang mendorong mereka beriman sangat membaja.
Aksi-aksi menentang Dakwah Nabi Muhammad SAW
Reaksi-reaksi keras menentang dakwah Nabi SAW bermunculan, namun tanpa kenal lelah Nabi Muhammad SAW terus melanjutkan dakwahnya, sehingga hasilnya mulai nyata. Hampir setiap hari ada yang menggabungkan diri dalam barisan pemeluk agama Islam. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang miskin serta lemah. Meskipun sebagian dari mereka adalah orang-orang yang lemah, namun semangat yang mendorong mereka beriman sangat membaja.
Tantangan dakwah terberat datang dari para penguasa
Mekah, kaum feodal, dan para pemilik budak. Mereka ingin mempertahankan tradisi
lama disamping juga khawatir jika struktur masyarakat dan
kepentingan-kepentingan dagang mereka akan tergoyahkan oleh ajaran Nabi
Muhammad SAW yang menekankan pada keadilan sosial dan persamaan derajat. Mereka
menyusun siasat untuk melepaskan hubungan keluarga antara Abi Thalib dan Nabi
Muhammad SAW dengen cara meminta pada Abu Thalib memilih satu di antara dua:
memerintahkan Muhammad SAW agar berhenti berdakwah, atau menyerahkannya kepada
mereka. Abi Thalib terpengaruh oleh ancaman itu, ia meminta agar Muhammad SAW
menghentikan dakwahnya. Tetapi Muhammad SAW menolak permintaannya dan berkata,
"Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun
seluruh anggota keluarga dan sanak saudara mengucilkan saya."
Mendengar jawaban ini, Abi Thalib pun berkata, "Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu".
Mendengar jawaban ini, Abi Thalib pun berkata, "Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu".
Gagal dengan cara pertama, kaum Quraisy lalu mengutus
Walid bin Mugirah menemui Abi Thalib dengan membawa seorang pemuda untuk
dipertukarkan dengan Muhammad SAW. Pemuda itu bernama Umarah bin Walid, seorang
pemuda yang gagah dan tampan. Walid bin Mugirah berkata, "Ambillah dia
menjadi anak saudara, tetapi serahkan kepada kami Muhammad untuk kami bunuh,
karena dia telah menentang kami dan memecah belah kita".
Usul Quraisy itu ditolak mentah-mentah oleh Abi Thalib dengan berkata, "Sungguh jahat pikiran kalian. Kalian serahkan anak kalian untuk saya asuh dan beri makan, dan saya serahkan kemenakan saya untuk kalian bunuh. Sungguh suatu penawaran yang tak mungkin saya terima."
Usul Quraisy itu ditolak mentah-mentah oleh Abi Thalib dengan berkata, "Sungguh jahat pikiran kalian. Kalian serahkan anak kalian untuk saya asuh dan beri makan, dan saya serahkan kemenakan saya untuk kalian bunuh. Sungguh suatu penawaran yang tak mungkin saya terima."
Kembali mengalami kegagalan, berikutnya mereka menghadapi
Nabi Muhammad SAW secara langsung. Mereka mengutus Utbah bin Rabi'ah, seorang
ahli retorika, untuk membujuk Nabi SAW. Mereka menawarkan takhta, wanita, dan
harta yang mereka kira diinginkan oleh Nabi SAW, asal Nabi SAW bersedia
menghentikan dakwahannya. Namun semua tawaran itu ditolak oleh Nabi Muhammad
SAW dengan mengatakan, "Demi Allah, biarpun mereka meletakkan matahari di
tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan dakwah
agama Allah ini, hingga agama ini memang atau aku binasa karenanya."
Setelah gagal dengan cara-cara diplomatik dan bujuk rayu,
kaum Quraisy mulai melakukan tindak kekerasan. Budak-budak mereka yang telah
masuk Islam mereka siksa dengan sangat kejam. Mereka dipukul, dicambuk, dan
tidak diberi makan dan minum. Salah seorang budak bernama Bilal, mendapat
siksaan ditelentangkan di atas pasir yang panas dan di atas dadanya diletakkan
batu yang besar dan berat.
Setiap suku diminta menghukum anggota keluarganya yang
masuk Islam sampai ia murtad kembali. Usman bin Affan misalnya, dikurung dalam
kamar gelap dan dipukul hingga babak belur oleh anggota keluarganya sendiri.
Secara keseluruhan, sejak saat itu umat Islam mendapat siksaan yang pedih dari
kaum Quraisy Mekah. Mereka dilempari kotoran, dihalangi untuk melakukan ibadah
di Ka'bah, dan lain sebagainya.
Kekejaman terhadap kaum Muslimin mendorong Nabi Muhammad
SAW untuk mengungsikan sahabat-sahabatnya keluar dari Mekah. Dengan
pertimbangan yang mendalam, pada tahun ke-5 kerasulannya, Nabi SAW menetapkan
Abessinia atau Habasyah (Ethiopia sekarang) sebagai negeri tempat pengungsian,
karena raja negeri itu adalah seorang yang adil, lapang hati, dan suka menerima
tamu. Nabi SAW merasa pasti rombongannya akan diterima dengan tangan terbuka.
Rombongan pertama terdiri dari 10 orang pria dan 5 orang
wanita. di antara rombongan tsb adalah Usman bin Affan beserta istrinya Ruqayah
(putri Rasulullah SAW), Zubair bin Awwam, dan Abdur Rahman bin Auf. Kemudian
menyusul rombongan kedua yang dipimpin oleh Ja'far bin Abi Thalib. Beberapa
sumber menyatakan jumlah rombongan ini lebih dari 80 orang.
Berbagai usaha dilakukan oleh kaum Quraisy untuk menghalangi
hijrah ke Habasyah ini, termasuk membujuk raja negeri tsb agar menolak
kehadiran umat Islam disana. Namun berbagai usaha itu pun gagal. Semakin kejam
mereka memperlakukan umat Islam, justru semakin bertambah jumlah yang memeluk
Islam. Bahkan di tengah meningkatnya kekejaman tsb, dua orang kuat Quraisy
masuk Islam, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab. Dengan masuk
Islamnya dua orang yang dijuluki "Singa Arab" itu, semakin kuatlah
posisi umat Islam dan dakwah Muhammad SAW pada waktu itu.
Hal ini membuat reaksi kaum Quraisy semakin keras. Mereka
berpendapat bahwa kekuatan Nabi Muhammad SAW terletak pada perlindungan Bani
Hasyim, maka mereka pun berusaha melumpuhkan Bani Hasyim dengan melaksanakan
blokade. Mereka memutuskan segala macam hubungan dengan suku ini. Tidak seorang
pun penduduk Mekah boleh melakukan hubungan dengan Bani Hasyim, termasuk
hubungan jual-beli dan pernikahan. Persetujuan yang mereka buat dalam bentuk
piagam itu mereka tanda-tangani bersama dan mereka gantungkan di dalam Ka'bah.
Akibatnya, Bani Hasyim menderita kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Untuk
meringankan penderitaan itu, Bani Hasyim akhirnya mengungsi ke suatu lembah di
luar kota Mekah.
Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ke-7
kenabian Muhammad SAW dan berlangsung selama 3 tahun itu merupakan tindakan
yang paling menyiksa. Pemboikotan itu berhenti karena terdapat beberapa
pemimpin Quraisy yang menyadari bahwa tindakan pemboikotan itu sungguh
keterlaluan. Kesadaran itulah yang mendorong mereka melanggar perjanjian yang
mereka buat sendiri. Dengan demikian Bani Hasyim akhirnya dapat kembali pulang
ke rumah masing-masing.
Setelah Bani Hasyim kembali ke rumah mereka, Abi Thalib,
paman Nabi SAW yang merupakan pelindung utamanya, meninggal dunia dalam usia 87
tahun. Tiga hari kemudian, Khadijah, istrinya, juga meninggal dunia. Tahun
ke-10 kenabian ini benar-benar merupakan Tahun Kesedihan ('Âm al-Huzn) bagi
Nabi Muhammad SAW. Telebih sepeninggal dua pendukungnya itu, kaum Quraisy tidak
segan-segan melampiaskan kebencian kepada Nabi SAW. Hingga kemudian Nabi SAW
berusaha menyebarkan dakwah ke luar kota, yaitu ke Ta'if. Namun reaksi yang
diterima Nabi SAW dari Bani Saqif (penduduk Ta'if), tidak jauh berbeda dengan
penduduk Mekah. Nabi SAW diejek, disoraki, dilempari batu sampai ia luka-luka
di bagian kepala dan badannya.
Peristiwa Isra Mi'raj
Pada tahun ke-10 kenabian, Nabi Muhammad SAW mengalami peristiwa Isra Mi'raj.
Isra, yaitu perjalanan malam hari dari Masjidilharam di Mekah ke Masjidilaksa di Yerusalem.
Mi'raj, yaitu kenaikan Nabi Muhammad SAW dari Masjidilaksa ke langit melalui beberapa tingkatan, terus menuju Baitulmakmur, sidratulmuntaha, arsy (takhta Tuhan), dan kursi (singgasana Tuhan), hingga menerima wahyu di hadirat Allah SWT.
Pada tahun ke-10 kenabian, Nabi Muhammad SAW mengalami peristiwa Isra Mi'raj.
Isra, yaitu perjalanan malam hari dari Masjidilharam di Mekah ke Masjidilaksa di Yerusalem.
Mi'raj, yaitu kenaikan Nabi Muhammad SAW dari Masjidilaksa ke langit melalui beberapa tingkatan, terus menuju Baitulmakmur, sidratulmuntaha, arsy (takhta Tuhan), dan kursi (singgasana Tuhan), hingga menerima wahyu di hadirat Allah SWT.
Dalam kesempatannnya berhadapan langsung dengan Allah SWT
inilah Nabi Muhammad SAW menerima perintah untuk mendirikan sholat 5 waktu
sehari semalam.
Peristiwa Isra Mi'raj ini terdapat dalam Al-Qur'an surat Al-Isrâ' ayat 1.
Peristiwa Isra Mi'raj ini terdapat dalam Al-Qur'an surat Al-Isrâ' ayat 1.
Hijrah
Harapan baru bagi perkembangan Islam muncul dengan datangnya jemaah haji ke Mekah yang berasal dari Yatsrib (Madinah). Nabi Muhammad SAW memanfaatkan kesempatan itu untuk menyebarkan agama Allah SWT dengan mendatangi kemah-kemah mereka. Namun usaha ini selalu diikuti oleh Abu Lahab dan kawan-kawannya dengan mendustakan Nabi SAW.
Harapan baru bagi perkembangan Islam muncul dengan datangnya jemaah haji ke Mekah yang berasal dari Yatsrib (Madinah). Nabi Muhammad SAW memanfaatkan kesempatan itu untuk menyebarkan agama Allah SWT dengan mendatangi kemah-kemah mereka. Namun usaha ini selalu diikuti oleh Abu Lahab dan kawan-kawannya dengan mendustakan Nabi SAW.
Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan 6 orang dari suku
Aus dan Khazraj yang berasal dari Yatsrib. Setelah Nabi SAW menyampaikan
pokok-pokok ajaran Islam, mereka menyatakan diri masuk Islam di hadapan Nabi
SAW. Mereka berkata, "Bangsa kami sudah lama terlibat dalam permusuhan,
yaitu antara suku Khazraj dan Aus. Mereka benar-benar merindukan perdamaian.
Kiranya kini Tuhan mempersatukan mereka kembali dengan perantaramu dan
ajaran-ajaran yang kamu bawa. Oleh karena itu kami akan berdakwah agar mereka
mengetahui agama yang kami terima dari kamu ini."
Pada musim haji tahun berikutnya, datanglah delegasi
Yatsrib yang terdiri dari 12 orang suku Khazraj dan Aus. Mereka menemui Nabi
SAW di suatu tempat bernama Aqabah. Di hadapan Nabi SAW, mereka menyatakan
ikrar kesetiaan. Karena ikrar ini dilakukan di Aqabah, maka dinamakan Bai'at
Aqabah. Rombongan 12 orang tsb kemudian kembali ke Yatsrib sebagai juru dakwah
dengan ditemani oleh Mus'ab bin Umair yang sengaja diutus oleh Nabi SAW atas
permintaan mereka.
Pada musim haji berikutnya, jemaah haji yang datang dari
Yatsrib berjumlah 75 orang, termasuk 12 orang yang sebelumnya telah menemui
Nabi SAW di Aqabah. Mereka meminta agar Nabi SAW bersedia pindah ke Yatsrib.
Mereka berjanji akan membela Nabi SAW dari segala ancaman. Nabi SAW menyetujui
usul yang mereka ajukan.
Mengetahui adanya perjanjian antara Nabi Muhammad SAW
dengan orang-orang Yatsrib, kaum Quraisy menjadi semakin kejam terhadap kaum
muslimin. Hal ini membuat Nabi SAW memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah
ke Yatsrib. Secara diam-diam, berangkatlah rombongan-rombongan muslimin,
sedikit demi sedikit, ke Yatsrib. Dalam waktu 2 bulan, kurang lebih 150 kaum
muslimin telah berada di Yatsrib. Sementara itu Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar
as-Sidiq tetap tinggal di Mekah bersama Nabi SAW, membelanya sampai Nabi SAW
mendapat wahyu untuk hijrah ke Yatsrib.
Kaum Quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad
SAW sebelum ia sempat menyusul umatnya ke Yatsrib. Pembunuhan itu direncanakan
melibatkan semua suku. Setiap suku diwakili oleh seorang pemudanya yang
terkuat. Rencana pembunuhan itu terdengar oleh Nabi SAW, sehingga ia
merencanakan hijrah bersama sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar diminta
mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam perjalanan, termasuk 2 ekor
unta. Sementara Ali bin Abi Thalib diminta untuk menggantikan Nabi SAW
menempati tempat tidurnya agar kaum Quraisy mengira bahwa Nabi SAW masih tidur.
Pada malam hari yang direncanakan, di tengah malam buta
Nabi SAW keluar dari rumahnya tanpa diketahui oleh para pengepung dari kalangan
kaum Quraisy. Nabi SAW menemui Abu Bakar yang telah siap menunggu. Mereka
berdua keluar dari Mekah menuju sebuah Gua Tsur, kira-kira 3 mil sebelah
selatan Kota Mekah. Mereka bersembunyi di gua itu selama 3 hari 3 malam
menunggu keadaan aman. Pada malam ke-4, setelah usaha orang Quraisy mulai
menurun karena mengira Nabi SAW sudah sampai di Yatsrib, keluarlah Nabi SAW dan
Abu Bakar dari persembunyiannya. Pada waktu itu Abdullah bin Uraiqit yang
diperintahkan oleh Abu Bakar pun tiba dengan membawa 2 ekor unta yang memang
telah dipersiapkan sebelumnya. Berangkatlah Nabi SAW bersama Abu Bakar menuju
Yatsrib menyusuri pantai Laut Merah, suatu jalan yang tidak pernah ditempuh
orang.
Setelah 7 hari perjalanan, Nabi SAW dan Abu Bakar tiba di
Quba, sebuah desa yang jaraknya 5 km dari Yatsrib. Di desa ini mereka
beristirahat selama beberapa hari. Mereka menginap di rumah Kalsum bin Hindun.
Di halaman rumah ini Nabi SAW membangun sebuah masjid yang kemudian terkenal sebagai
Masjid Quba. Inilah masjid pertama yang dibangun Nabi SAW sebagai pusat
peribadatan.
Tak lama kemudian, Ali menggabungkan diri dengan Nabi
SAW. Sementara itu penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatangannya. Menurut
perhitungan mereka, berdasarkan perhitungan yang lazim ditempuh orang,
seharusnya Nabi SAW sudah tiba di Yatsrib. Oleh sebab itu mereka pergi ke
tempat-tempat yang tinggi, memandang ke arah Quba, menantikan dan menyongsong
kedatangan Nabi SAW dan rombongan. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu pun
tiba. Dengan perasaan bahagia, mereka mengelu-elukan kedatangan Nabi SAW.
Mereka berbaris di sepanjang jalan dan menyanyikan lagu Thala' al-Badru, yang
isinya:
Telah tiba bulan purnama, dari Saniyyah al-Wadâ'i
(celah-celah bukit).
Kami wajib bersyukur, selama ada orang yang menyeru kepada Ilahi,
Wahai orang yang diutus kepada kami,
engkau telah membawa sesuatu yang harus kami taati.
Setiap orang ingin agar Nabi SAW singgah dan menginap di rumahnya. Tetapi Nabi SAW hanya berkata, "Aku akan menginap dimana untaku berhenti. Biarkanlah dia berjalan sekehendak hatinya."
Ternyata unta itu berhenti di tanah milik dua anak yatim, yaitu Sahal dan Suhail, di depan rumah milik Abu Ayyub al-Anshari. Dengan demikian Nabi SAW memilih rumah Abu Ayyub sebagai tempat menginap sementara. Tujuh bulan lamanya Nabi SAW tinggal di rumah Abu Ayyub, sementara kaum Muslimin bergotong-royong membangun rumah untuknya.
Kami wajib bersyukur, selama ada orang yang menyeru kepada Ilahi,
Wahai orang yang diutus kepada kami,
engkau telah membawa sesuatu yang harus kami taati.
Setiap orang ingin agar Nabi SAW singgah dan menginap di rumahnya. Tetapi Nabi SAW hanya berkata, "Aku akan menginap dimana untaku berhenti. Biarkanlah dia berjalan sekehendak hatinya."
Ternyata unta itu berhenti di tanah milik dua anak yatim, yaitu Sahal dan Suhail, di depan rumah milik Abu Ayyub al-Anshari. Dengan demikian Nabi SAW memilih rumah Abu Ayyub sebagai tempat menginap sementara. Tujuh bulan lamanya Nabi SAW tinggal di rumah Abu Ayyub, sementara kaum Muslimin bergotong-royong membangun rumah untuknya.
Sejak itu nama kota Yatsrib diubah menjadi Madînah
an-Nabî (kota nabi). Orang sering pula menyebutnya Madînah al-Munawwarah (kota
yang bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam memancar ke seluruh dunia.
Terbentuknya Negara Madinah
Setelah Nabi SAW tiba di Madinah dan diterima penduduk Madinah, Nabi SAW menjadi pemimpin penduduk kota itu. Ia segera meletakkan dasar-dasar kehidupan yang kokoh bagi pembentukan suatu masyarakat baru.
Setelah Nabi SAW tiba di Madinah dan diterima penduduk Madinah, Nabi SAW menjadi pemimpin penduduk kota itu. Ia segera meletakkan dasar-dasar kehidupan yang kokoh bagi pembentukan suatu masyarakat baru.
Dasar pertama yang ditegakkannya adalah Ukhuwah Islamiyah
(persaudaraan di dalam Islam), yaitu antara kaum Muhajirin (orang-orang yang
hijrah dari Mekah ke Madinah) dan Anshar (penduduk Madinah yang masuk Islam dan
ikut membantu kaum Muhajirin). Nabi SAW mempersaudarakan individu-individu dari
golongan Muhajirin dengan individu-individu dari golongan Anshar. Misalnya,
Nabi SAW mempersaudarakan Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid, Ja'far bin Abi
Thalib dengan Mu'az bin Jabal. Dengan demikian diharapkan masing-masing orang
akan terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Dengan persaudaraan
yang semacam ini pula, Rasulullah telah menciptakan suatu persaudaraan baru,
yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan
keturunan.
Dasar kedua adalah sarana terpenting untuk mewujudkan
rasa persaudaraan tsb, yaitu tempat pertemuan. Sarana yang dimaksud adalah
masjid, tempat untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT secara berjamaah, yang
juga dapat digunakan sebagai pusat kegiatan untuk berbagai hal, seperti
belajar-mengajar, mengadili perkara-perkara yang muncul dalam masyarakat,
musyawarah, dan transaksi dagang.
Nabi SAW merencanakan pembangunan masjid itu dan langsung ikut membangun bersama-sama kaum muslimin. Masjid yang dibangun ini kemudian dikenal sebagai Masjid Nabawi. Ukurannya cukup besar, dibangun di atas sebidang tanah dekat rumah Abu Ayyub al-Anshari. Dindingnya terbuat dari tanah liat, sedangkan atapnya dari daun-daun dan pelepah kurma. Di dekat masjid itu dibangun pula tempat tinggal Nabi SAW dan keluarganya.
Nabi SAW merencanakan pembangunan masjid itu dan langsung ikut membangun bersama-sama kaum muslimin. Masjid yang dibangun ini kemudian dikenal sebagai Masjid Nabawi. Ukurannya cukup besar, dibangun di atas sebidang tanah dekat rumah Abu Ayyub al-Anshari. Dindingnya terbuat dari tanah liat, sedangkan atapnya dari daun-daun dan pelepah kurma. Di dekat masjid itu dibangun pula tempat tinggal Nabi SAW dan keluarganya.
Dasar ketiga adalah hubungan persahabatan dengan
pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, disamping orang-orang
Arab Islam juga masih terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab
yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat
diwujudkan, Nabi Muhammad SAW mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka.
Perjanjian tsb diwujudkan melalui sebuah piagam yang disebut dengan Mîsâq
Madînah atau Piagam Madinah. Isi piagam itu antara lain mengenai kebebasan
beragama, hak dan kewajiban masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban
negerinya, kehidupan sosial, persamaan derajat, dan disebutkan bahwa Rasulullah
SAW menjadi kepala pemerintahan di Madinah.
Masyarakat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di
Madinah setelah hijrah itu sudah dapat dikatakan sebagai sebuah negara, dengan
Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negaranya. Dengan terbentuknya Negara Madinah,
Islam makin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat
orang-orang Mekah menjadi resah. Mereka takut kalau-kalau umat Islam memukul
mereka dan membalas kekejaman yang pernah mereka lakukan. Mereka juga khawatir
kafilah dagang mereka ke Suriah akan diganggu atau dikuasai oleh kaum muslimin.
Untuk memperkokoh dan mempertahankan keberadaan negara
yang baru didirikan itu, Nabi SAW mengadakan beberapa ekspedisi ke luar kota,
baik langsung di bawah pimpinannya maupun tidak. Hamzah bin Abdul Muttalib
membawa 30 orang berpatroli ke pesisir L. Merah. Ubaidah bin Haris membawa 60
orang menuju Wadi Rabiah. Sa'ad bin Abi Waqqas ke Hedzjaz dengan 8 orang
Muhajirin. Nabi SAW sendiri membawa pasukan ke Abwa dan disana berhasil
mengikat perjanjian dengan Bani Damra, kemudian ke Buwat dengan membawa 200
orang Muhajirin dan Anshar, dan ke Usyairiah. Di sini Nabi SAW mengadakan
perjanjian dengan Bani Mudij.
Ekspedisi-ekspedisi tsb sengaja digerakkan Nabi SAW
sebagai aksi-aksi siaga dan melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak
diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang baru dibentuk.
Perjanjian perdamaian dengan kabilah dimaksudkan sebagai usaha memperkuat
kedudukan Madinah.
Perang Badr
Perang Badr yang merupakan perang antara kaum muslimin Madinah dan kaun musyrikin Quraisy Mekah terjadi pada tahun 2 H. Perang ini merupakan puncak dari serangkaian pertikaian yang terjadi antara pihak kaum muslimin Madinah dan kaum musyrikin Quraisy. Perang ini berkobar setelah berbagai upaya perdamaian yang dilaksanakan Nabi Muhammad SAW gagal.
Perang Badr yang merupakan perang antara kaum muslimin Madinah dan kaun musyrikin Quraisy Mekah terjadi pada tahun 2 H. Perang ini merupakan puncak dari serangkaian pertikaian yang terjadi antara pihak kaum muslimin Madinah dan kaum musyrikin Quraisy. Perang ini berkobar setelah berbagai upaya perdamaian yang dilaksanakan Nabi Muhammad SAW gagal.
Tentara muslimin Madinah terdiri dari 313 orang dengan
perlengkapan senjata sederhana yang terdiri dari pedang, tombak, dan panah.
Berkat kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan semangat pasukan yang membaja, kaum
muslimin keluar sebagai pemenang. Abu Jahal, panglima perang pihak pasukan
Quraisy dan musuh utama Nabi Muhammad SAW sejak awal, tewas dalam perang itu.
Sebanyak 70 tewas dari pihak Quraisy, dan 70 orang lainnya menjadi tawanan. Di
pihak kaum muslimin, hanya 14 yang gugur sebagai syuhada. Kemenangan itu
sungguh merupakan pertolongan Allah SWT (QS. 3: 123).
Orang-orang Yahudi Madinah tidak senang dengan kemenangan
kaum muslimin. Mereka memang tidak pernah sepenuh hati menerima perjanjian yang
dibuat antara mereka dan Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah.
Sementara itu, dalam menangani persoalan tawanan perang,
Nabi Muhammad SAW memutuskan untuk membebaskan para tawanan dengan tebusan
sesuai kemampuan masing-masing. Tawanan yang pandai membaca dan menulis
dibebaskan bila bersedia mengajari orang-orang Islam yang masih buta aksara.
Namun tawanan yang tidak memiliki kekayaan dan kepandaian apa-apa pun tetap
dibebaskan juga.
Tidak lama setelah perang Badr, Nabi Muhammad SAW
mengadakan perjanjian dengan suku Badui yang kuat. Mereka ingin menjalin
hubungan dengan Nabi SAW karenan melihat kekuatan Nabi SAW. Tetapi ternyata
suku-suku itu hanya memuja kekuatan semata.
Sesudah perang Badr, Nabi SAW juga menyerang Bani
Qainuqa, suku Yahudi Madinah yang berkomplot dengan orang-orang Mekah. Nabi SAW
lalu mengusir kaum Yahudi itu ke Suriah.
Perang Uhud
Perang yang terjadi di Bukit Uhud ini berlangsung pada tahun 3 H. Perang ini disebabkan karena keinginan balas dendam orang-orang Quraisy Mekah yang kalah dalam perang Badr.
Pasukan Quraisy, dengan dibantu oleh kabilah Tihama dan Kinanah, membawa 3.000 ekor unta dan 200 pasukan berkuda di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Tujuh ratus orang di antara mereka memakai baju besi.
Adapun jumlah pasukan Nabi Muhammad SAW hanya berjumlah 700 orang.
Perang yang terjadi di Bukit Uhud ini berlangsung pada tahun 3 H. Perang ini disebabkan karena keinginan balas dendam orang-orang Quraisy Mekah yang kalah dalam perang Badr.
Pasukan Quraisy, dengan dibantu oleh kabilah Tihama dan Kinanah, membawa 3.000 ekor unta dan 200 pasukan berkuda di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Tujuh ratus orang di antara mereka memakai baju besi.
Adapun jumlah pasukan Nabi Muhammad SAW hanya berjumlah 700 orang.
Perang pun berkobar. Prajurit-prajurit Islam dapat
memukul mundur pasukan musuh yang jauh lebih besar itu. Tentara Quraisy mulai
mundur dan kocar-kacir meninggalkan harta mereka.
Melihat kemenangan yang sudah di ambang pintu, pasukan pemanah yang ditempatkan oleh Rasulullah di puncak bukit meninggalkan pos mereka dan turun untuk mengambil harta peninggalan musuh. Mereka lupa akan pesan Rasulullah untuk tidak meninggalkan pos mereka dalam keadaan bagaimana pun sebelum diperintahkan. Mereka tidak lagi menghiraukan gerakan musuh. Situasi ini dimanfaatkan musuh untuk segera melancarkan serangan balik. Tanpa konsentrasi penuh, pasukan Islam tak mampu menangkis serangan. Mereka terjepit, dan satu per satu pahlawan Islam berguguran.
Nabi SAW sendiri terkena serangan musuh. Sisa-sisa pasukan Islam diselamatkan oleh berita tidak benar yang diterima musuh bahwa Nabi SAW sudah meninggal. Berita ini membuat mereka mengendurkan serangan untuk kemudian mengakhiri pertempuran itu.
Melihat kemenangan yang sudah di ambang pintu, pasukan pemanah yang ditempatkan oleh Rasulullah di puncak bukit meninggalkan pos mereka dan turun untuk mengambil harta peninggalan musuh. Mereka lupa akan pesan Rasulullah untuk tidak meninggalkan pos mereka dalam keadaan bagaimana pun sebelum diperintahkan. Mereka tidak lagi menghiraukan gerakan musuh. Situasi ini dimanfaatkan musuh untuk segera melancarkan serangan balik. Tanpa konsentrasi penuh, pasukan Islam tak mampu menangkis serangan. Mereka terjepit, dan satu per satu pahlawan Islam berguguran.
Nabi SAW sendiri terkena serangan musuh. Sisa-sisa pasukan Islam diselamatkan oleh berita tidak benar yang diterima musuh bahwa Nabi SAW sudah meninggal. Berita ini membuat mereka mengendurkan serangan untuk kemudian mengakhiri pertempuran itu.
Perang Uhuh ini menyebabkan 70 orang pejuang Islam gugur
sebagai syuhada.
Perang Khandaq
Perang yang terjadi pada tahun 5 H ini merupakan perang antara kaum muslimin Madinah melawan masyarakat Yahudi Madinah yang mengungsi ke Khaibar yang bersekutu dengan masyarakat Mekah. Karena itu perang ini juga disebut sebagai Perang Ahzab (sekutu beberapa suku).
Pasukan gabungan ini terdiri dari 10.000 orang tentara. Salman al-Farisi, sahabat Rasulullah SAW, mengusulkan agar kaum muslimin membuat parit pertahanan di bagian-bagian kota yang terbuka. Karena itulah perang ini disebut sebagai Perang Khandaq yang berarti parit.
Perang yang terjadi pada tahun 5 H ini merupakan perang antara kaum muslimin Madinah melawan masyarakat Yahudi Madinah yang mengungsi ke Khaibar yang bersekutu dengan masyarakat Mekah. Karena itu perang ini juga disebut sebagai Perang Ahzab (sekutu beberapa suku).
Pasukan gabungan ini terdiri dari 10.000 orang tentara. Salman al-Farisi, sahabat Rasulullah SAW, mengusulkan agar kaum muslimin membuat parit pertahanan di bagian-bagian kota yang terbuka. Karena itulah perang ini disebut sebagai Perang Khandaq yang berarti parit.
Tentara sekutu yang tertahan oleh parit tsb mengepung
Madinah dengan mendirikan perkemahan di luar parit hampir sebulan lamanya.
Pengepungan ini cukup membuat masyarakat Madinah menderita karena hubungan
mereka dengan dunia luar menjadi terputus. Suasana kritis itu diperparah pula
oleh pengkhianatan orang-orang Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizah, dibawah
pimpinan Ka'ab bin Asad.
Namun akhirnya pertolongan Allah SWT menyelamatkan kaum muslimin.
Setelah sebulan mengadakan pengepungan, persediaan makanan pihak sekutu
berkurang. Sementara itu pada malam hari angin dan badai turun dengan amat
kencang, menghantam dan menerbangkan kemah-kemah dan seluruh perlengkapan
tentara sekutu. Sehingga mereka terpaksa menghentikan pengepungan dan kembali
ke negeri masing-masing tanpa suatu hasil.
Para pengkhianat Yahudi dari Bani Quraizah dijatuhi
hukuman mati.
Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur'an surat Al-Ahzâb: 25-26.
Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur'an surat Al-Ahzâb: 25-26.
Perjanjian Hudaibiyah
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, hasrat kaum muslimin untuk mengunjungi Mekah sangat bergelora. Nabi SAW memimpin langsung sekitar 1.400 orang kaum muslimin berangkat umrah pada bulan suci Ramadhan, bulan yang dilarang adanya perang. Untuk itu mereka mengenakan pakaian ihram dan membawa senjata ala kadarnya untuk menjaga diri, bukan untuk berperang.
Sebelum tiba di Mekah, mereka berkemah di Hudaibiyah yang terletak beberapa kilometer dari Mekah.
Orang-orang kafir Quraisy melarang kaum muslimin masuk ke Mekah dengan menempatkan sejumlah besar tentara untuk berjaga-jaga.
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, hasrat kaum muslimin untuk mengunjungi Mekah sangat bergelora. Nabi SAW memimpin langsung sekitar 1.400 orang kaum muslimin berangkat umrah pada bulan suci Ramadhan, bulan yang dilarang adanya perang. Untuk itu mereka mengenakan pakaian ihram dan membawa senjata ala kadarnya untuk menjaga diri, bukan untuk berperang.
Sebelum tiba di Mekah, mereka berkemah di Hudaibiyah yang terletak beberapa kilometer dari Mekah.
Orang-orang kafir Quraisy melarang kaum muslimin masuk ke Mekah dengan menempatkan sejumlah besar tentara untuk berjaga-jaga.
Akhirnya diadakanlah Perjanjian Hudaibiyah antara Madinah
dan Mekah, yang isinya antara lain:
Kedua belah pihak setuju untuk melakukan gencatan senjata
selama 10 tahun.
Bila ada pihak Quraisy yang menyeberang ke pihak Muhammad, ia harus dikembalikan. Tetapi bila ada pengikut Muhammad SAW yang menyeberang ke pihak Quraisy, pihak Quraisy tidak harus mengembalikannya ke pihak Muhammad SAW.
Tiap kabilah bebas melakukan perjanjian baik dengan pihak Muhammad SAW maupun dengan pihak Quraisy.
Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka'bah pada tahun tsb, tetapi ditangguhkan sampai tahun berikutnya.
Jika tahun depan kaum muslimin memasuki kota Mekah, orang Quraisy harus keluar lebih dulu.
Kaum muslimin memasuki kota Mekah dengan tidak diizinkan membawa senjata, kecuali pedang di dalam sarungnya, dan tidak boleh tinggal di Mekah lebih dari 3 hari 3 malam.
Tujuan Nabi SAW membuat perjanjian tsb sebenarnya adalah berusaha merebut dan menguasai Mekah, untuk kemudian dari sana menyiarkan Islam ke daerah-daerah lain.
Ada 2 faktor utama yang mendorong kebijaksanaan ini:
Bila ada pihak Quraisy yang menyeberang ke pihak Muhammad, ia harus dikembalikan. Tetapi bila ada pengikut Muhammad SAW yang menyeberang ke pihak Quraisy, pihak Quraisy tidak harus mengembalikannya ke pihak Muhammad SAW.
Tiap kabilah bebas melakukan perjanjian baik dengan pihak Muhammad SAW maupun dengan pihak Quraisy.
Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka'bah pada tahun tsb, tetapi ditangguhkan sampai tahun berikutnya.
Jika tahun depan kaum muslimin memasuki kota Mekah, orang Quraisy harus keluar lebih dulu.
Kaum muslimin memasuki kota Mekah dengan tidak diizinkan membawa senjata, kecuali pedang di dalam sarungnya, dan tidak boleh tinggal di Mekah lebih dari 3 hari 3 malam.
Tujuan Nabi SAW membuat perjanjian tsb sebenarnya adalah berusaha merebut dan menguasai Mekah, untuk kemudian dari sana menyiarkan Islam ke daerah-daerah lain.
Ada 2 faktor utama yang mendorong kebijaksanaan ini:
Mekah adalah pusat keagamaan bangsa Arab, sehingga dengan
melalui konsolidasi bangsa Arab dalam Islam, diharapkan Islam dapat tersebar ke
luar.
Apabila suku Quraisy dapat diislamkan, maka Islam akan memperoleh dukungan yang besar, karena orang-orang Quraisy mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar di kalangan bangsa Arab.
Setahun kemudian ibadah haji ditunaikan sesuai perjanjian. Banyak orang Quraisy yang masuk Islam setelah menyaksikan ibadah haji yang dilakukan kaum muslimin, disamping juga melihat kemajuan yang dicapai oleh masyarakat Islam Madinah.
Apabila suku Quraisy dapat diislamkan, maka Islam akan memperoleh dukungan yang besar, karena orang-orang Quraisy mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar di kalangan bangsa Arab.
Setahun kemudian ibadah haji ditunaikan sesuai perjanjian. Banyak orang Quraisy yang masuk Islam setelah menyaksikan ibadah haji yang dilakukan kaum muslimin, disamping juga melihat kemajuan yang dicapai oleh masyarakat Islam Madinah.
Penyebaran Islam ke negeri-negeri lain
Gencatan senjata dengan penduduk Mekah memberi kesempatan kepada Nabi SAW untuk mengalihkan perhatian ke berbagai negeri-negeri lain sambil memikirkan bagaimana cara mengislamkan mereka. Salah satu cara yang ditempuh oleh Nabi SAW kemudian adalah dengan mengirim utusan dan surat ke berbagai kepala negara dan pemerintahan.
Gencatan senjata dengan penduduk Mekah memberi kesempatan kepada Nabi SAW untuk mengalihkan perhatian ke berbagai negeri-negeri lain sambil memikirkan bagaimana cara mengislamkan mereka. Salah satu cara yang ditempuh oleh Nabi SAW kemudian adalah dengan mengirim utusan dan surat ke berbagai kepala negara dan pemerintahan.
di antara raja-raja yang dikirimi surat oleh Nabi SAW
adalah raja Gassan dari Iran, raja Mesir, Abessinia, Persia, dan Romawi. Memang
dengan cara itu tidak ada raja-raja yang masuk Islam, namun setidaknya risalah
Islam sudah sampai kepada mereka. Reaksi para raja itu pun ada yang menolak
dengan baik dan simpatik sambil memberikan hadiah, ada pula yang menolak dengan
kasar.
Raja Gassan termasuk yang menolak dengan kasar. Utusan
yang dikirim Nabi SAW dibunuhnya dengan kejam. Sebagai jawaban, Nabi SAW
kemudian mengirim pasukan perang sebanyak 3.000 orang dibawah pimpinan Zaid bin
Haritsah. Peperangan terjadi di Mu'tah, sebelah utara Semenanjung Arab.
Pasukan Islam mendapat kesulitan menghadapi tentara
Gassan yang mendapat bantuan langsung dari Romawi. Beberapa syuhada gugur dalam
pertempuran melawan pasukan berkekuatan ratusan ribu orang itu. di antara
mereka yang gugur adalah Zaid bin Haritsah sendiri, Ja'far bin Abi Thalib, dan
Abdullah bin Abi Rawahah.
Melihat kekuatan yang tidak seimbang itu, Khalid bin Walid, bekas panglima Quraisy yang sudah masuk Islam, mengambil alih komando dan memerintahkan pasukan Islam menarik diri dan kembali ke Madinah.
Melihat kekuatan yang tidak seimbang itu, Khalid bin Walid, bekas panglima Quraisy yang sudah masuk Islam, mengambil alih komando dan memerintahkan pasukan Islam menarik diri dan kembali ke Madinah.
Perang melawan tentara Gassan dan pasukan Romawi ini
disebut dengan Perang Mu'tah.
Kembali ke Mekah
Selama 2 tahun Perjanjian Hudaibiyah, dakwah Islam sudah menjangkau Semenanjung Arab dan mendapat tanggapan yang positif. Hampir seluruh Semenanjung Arab, termasuk suku-suku yang paling selatan, telah menggabungkan diri ke dalam Islam. Hal ini membuat orang-orang Mekah merasa terpojok. Perjanjian Hudaibiyah ternyata telah menjadi senjata bagi umat Islam untuk memperkuat dirinya. Oleh karena itu secara sepihak orang-orang Quraisy membatalkan perjanjian tsb. Mereka menyerang Bani Khuza'ah yang berada di bawah perlindungan Islam hanya karena kabilah ini berselisih dengan Bani Bakar yang menjadi sekutu Quraisy. Sejumlah orang Kuza'ah mereka bunuh dan sebagian lainnya dicerai-beraikan. Bani Khuza'ah segera mengadu pada Nabi Muhammad SAW dan meminta keadilan.
Selama 2 tahun Perjanjian Hudaibiyah, dakwah Islam sudah menjangkau Semenanjung Arab dan mendapat tanggapan yang positif. Hampir seluruh Semenanjung Arab, termasuk suku-suku yang paling selatan, telah menggabungkan diri ke dalam Islam. Hal ini membuat orang-orang Mekah merasa terpojok. Perjanjian Hudaibiyah ternyata telah menjadi senjata bagi umat Islam untuk memperkuat dirinya. Oleh karena itu secara sepihak orang-orang Quraisy membatalkan perjanjian tsb. Mereka menyerang Bani Khuza'ah yang berada di bawah perlindungan Islam hanya karena kabilah ini berselisih dengan Bani Bakar yang menjadi sekutu Quraisy. Sejumlah orang Kuza'ah mereka bunuh dan sebagian lainnya dicerai-beraikan. Bani Khuza'ah segera mengadu pada Nabi Muhammad SAW dan meminta keadilan.
Rasulullah SAW segera bertolak dengan 10.000 orang
tentara untuk melawan kaum musyrik Mekah itu. Kecuali perlawanan kecil dari
kaum Ikrimah dan Safwan, Nabi Muhammad SAW tidak mengalami kesukaran memasuki
kota Mekah. Nabi SAW memasuki kota itu sebagai pemenang. Pasukan Islam memasuki
kota Mekah tanpa kekerasan. Mereka kemudian menghancurkan patung-patung berhala
di seluruh negeri. Allah SWT berfirman:
"...Kebenaran sudah datang dan yang bathil telah
lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti
lenyap."(QS. 17: 81)
Setelah melenyapkan berhala-berhala itu, Nabi SAW berkhotbah menjanjikan ampunan bagi orang-orang Quraisy. Setelah khotbah tsb, berbondong-bondong mereka datang dan masuk Islam. Ka'bah bersih dari berhala dan tradisi-tradisi serta kebiasaan-kebiasaan musyrik.
Sejak itu, Mekah kembali berada di bawah kekuasaan Nabi SAW.
Setelah melenyapkan berhala-berhala itu, Nabi SAW berkhotbah menjanjikan ampunan bagi orang-orang Quraisy. Setelah khotbah tsb, berbondong-bondong mereka datang dan masuk Islam. Ka'bah bersih dari berhala dan tradisi-tradisi serta kebiasaan-kebiasaan musyrik.
Sejak itu, Mekah kembali berada di bawah kekuasaan Nabi SAW.
Setelah Mekah dapat dikalahkan, masih terdapat suku-suku
Arab yang menentang, yaitu Bani Saqif, Bani Hawazin, Bani Nasr, dan Bani
Jusyam. Suku-suku ini berkomplot membentuk satu pasukan untuk memerangi Islam
karena ingin menuntut bela atas berhala-berhala mereka yang diruntuhkan Nabi
SAW dan umat Islam di Ka'bah. Pasukan mereka dipimpin oleh Malik bin Auf (dari
Bani Nasr).
Dalam perjalanan mereka ke Mekah, mereka berkemah di Lembah Hunain yang sangat strategis.
Dalam perjalanan mereka ke Mekah, mereka berkemah di Lembah Hunain yang sangat strategis.
Kurang lebih 2 minggu kemudian, Nabi SAW memimpin sekitar
12.000 tentara menuju Hunain. Saat melihat banyak pasukan Islam yang gugur,
sebagian pasukan yang masih hidup menjadi goyah dan kacau balau, sehingga Nabi
SAW kemudian memberi semangat dan memimpin langsung peperangan tsb. Akhirnya
umat Islam berhasil menang. Pasukan musuh yang melarikan diri ke Ta'if terus
diburu selama beberap minggu sampai akhirnya mereka menyerah. Pemimpin mereka,
Malik bin Auf, menyatakan diri masuk Islam.
Dengan ditaklukannya Bani Saqif dan Bani Hawazin, kini
seluruh Semenanjung Arab berada di bawah satu kepemimpinan, yaitu kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW. Melihat kenyataan itu, Heraclius, pemimpin Romawi, menyusun
pasukan besar di Suriah, kawasan utara Semenanjung Arab yang merupakan daerah
pendudukan Romawi. Dalam pasukan besar itu bergabung Bani Gassan dan Bani
Lachmides.
Dalam masa panen dan pada musim yang sangat panas, banyak
pahlawan Islam yang menyediakan diri untuk berperang bersama Nabi SAW. Pasukan
Romawi kemudian menarik diri setelah melihat betapa besarnya pasukan yang
dipimpin Nabi SAW. Nabi SAW sendiri tidak melakukan pengejaran, melainkan ia
berkemah di Tabuk. Disini Nabi SAW membuat beberapa perjanjian dengan penduduk
setempat. Dengan demikian daerah perbatasan itu dapat dirangkul ke dalam
barisan Islam.
Perang yang terjadi di Tabuk ini merupakan perang
terakhir yang diikuti Rasulullah SAW.
Pada tahun 9 dan 10 H banyak suku dari seluruh pelosok
Arab yang mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyatakan tunduk
kepada Nabi SAW. Masuknya orang Mekah ke dalam agama Islam mempunyai pengaruh
yang amat besar pada penduduk Arab. Oleh karena itu, tahun ini disebut dengan
Tahun Perutusan atau 'Âm al-Bi'sah. Mereka yang datang ke Mekah, rombongan demi
rombongan, mempelajari ajaran-ajaran Islam dan setelah itu kembali ke negeri
masing-masing untuk mengajarkan kepada kaumnya. Dengan cara ini, persatuan Arab
terbentuk. Peperangan antar suku yang berlangsung selama ini berubah menjadi
persaudaraan agama. Pada saat itu turunlah firman Allah SWT:
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka
bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Penerima taubat. (QS. 110: 1-3)
Kini apa yang ditugaskan kepada Nabi Muhammad SAW sudah tercapai.
Di tengah-tengah suatu bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban, telah lahir seorang nabi.
Ia telah berhasil membacakan ayat-ayat Allah SWT kepada mereka dan mensucikannya serta mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka, padahal sebelumnya mereka berada dalam kegelapan yang pekat.
Pada awalnya Nabi Muhammad SAW mendapati mereka bergelimang dalam ketakhyulan yang merendahkan derajat manusia, lalu ia mengilhami mereka dengan kepercayaan kepada satu-satunya Tuhan yang Maha Besar dan Maha Kasih Sayang.
Saat mereka bercerai-berai dan terlibat dalam peperangan yang seolah tak ada habisnya, dipersatukannya mereka dalam ikatan persaudaraan.
Kalau sebelumnya Semenanjung Arab berada dalam kegelapan rohani, maka ia datang membawa cahaya terang-benderang untuk menyinari rohani mereka.
Kini apa yang ditugaskan kepada Nabi Muhammad SAW sudah tercapai.
Di tengah-tengah suatu bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban, telah lahir seorang nabi.
Ia telah berhasil membacakan ayat-ayat Allah SWT kepada mereka dan mensucikannya serta mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka, padahal sebelumnya mereka berada dalam kegelapan yang pekat.
Pada awalnya Nabi Muhammad SAW mendapati mereka bergelimang dalam ketakhyulan yang merendahkan derajat manusia, lalu ia mengilhami mereka dengan kepercayaan kepada satu-satunya Tuhan yang Maha Besar dan Maha Kasih Sayang.
Saat mereka bercerai-berai dan terlibat dalam peperangan yang seolah tak ada habisnya, dipersatukannya mereka dalam ikatan persaudaraan.
Kalau sebelumnya Semenanjung Arab berada dalam kegelapan rohani, maka ia datang membawa cahaya terang-benderang untuk menyinari rohani mereka.
Pekerjaannya selesai sudah, dan seluruhnya dikerjakan
dengan baik semasa hidupnya.
Disinilah letak keunggulan Nabi Muhammad SAW dibanding dengan nabi-nabi yang lain.
Disinilah letak keunggulan Nabi Muhammad SAW dibanding dengan nabi-nabi yang lain.
Ibadah haji terakhir
Pada tahun 10 H, Nabi SAW mengerjakan ibadah haji yang terakhir, yang disebut juga dengan haji wada'.
Pada tanggal 25 Zulkaidah 10/23 Februari 632 Rasulullah SAW meninggalkan Madinah. Sekitar seratus ribu jemaah turut menunaikan ibadah haji bersamanya.
Pada tahun 10 H, Nabi SAW mengerjakan ibadah haji yang terakhir, yang disebut juga dengan haji wada'.
Pada tanggal 25 Zulkaidah 10/23 Februari 632 Rasulullah SAW meninggalkan Madinah. Sekitar seratus ribu jemaah turut menunaikan ibadah haji bersamanya.
Pada waktu wukuf di Arafah, Nabi Muhammad SAW
menyampaikan khotbahnya yang sangat bersejarah. Isi khotbah itu antara lain:
larangan menumpahkan darah kecuali dengan haq (benar) dan
mengambil harta orang lain dengan bathil (salah), karena nyawa dan harta benda
adalah suci.
larangan riba dan larangan menganiaya
perintah untuk memperlakukan para istri dengan baik serta lemah lembut
perintah menjauhi dosa
semua pertengkaran di antara mereka di zaman Jahiliah harus dimaafkan
pembalasan dengan tebusan darah sebagaimana yang berlaku di zaman Jahiliyah tidak lagi dibenarkan
persaudaraan dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan
hamba sahaya harus diperlakukan dengan baik, yaitu mereka memakan apa yang dimakan majikannya dan memakai apa yang dipakai majikannya
dan yang terpenting, bahwa umat Islam harus selalu berpegang teguh pada dua sumber yang tak akan pernah usang, yaitu Al-Qur'an dan Sunah Nabi SAW.
Setelah itu Nabi SAW bertanya kepada seluruh jemaah, "Sudahkan aku menyampaikan amanat Allah, kewajibanku, kepada kamu sekalian?"
Jemaah yang ada di hadapannya segera menjawab, "Ya, memang demikian adanya."
Nabi Muhammad SAW kemudian menengadah ke langit sambil mengucapkan, "Ya Allah, Engkaulah menjadi saksiku."
Dengan kata-kata seperti itu Rasulullah SAW mengakhiri khotbahnya.
larangan riba dan larangan menganiaya
perintah untuk memperlakukan para istri dengan baik serta lemah lembut
perintah menjauhi dosa
semua pertengkaran di antara mereka di zaman Jahiliah harus dimaafkan
pembalasan dengan tebusan darah sebagaimana yang berlaku di zaman Jahiliyah tidak lagi dibenarkan
persaudaraan dan persamaan di antara manusia harus ditegakkan
hamba sahaya harus diperlakukan dengan baik, yaitu mereka memakan apa yang dimakan majikannya dan memakai apa yang dipakai majikannya
dan yang terpenting, bahwa umat Islam harus selalu berpegang teguh pada dua sumber yang tak akan pernah usang, yaitu Al-Qur'an dan Sunah Nabi SAW.
Setelah itu Nabi SAW bertanya kepada seluruh jemaah, "Sudahkan aku menyampaikan amanat Allah, kewajibanku, kepada kamu sekalian?"
Jemaah yang ada di hadapannya segera menjawab, "Ya, memang demikian adanya."
Nabi Muhammad SAW kemudian menengadah ke langit sambil mengucapkan, "Ya Allah, Engkaulah menjadi saksiku."
Dengan kata-kata seperti itu Rasulullah SAW mengakhiri khotbahnya.
Kembali ke Madinah
Setelah upacara haji yang lain disempurnakan, Nabi Muhammad SAW kembali ke Madinah. Disinilah ia menghabiskan sisa hidupnya. Ia mengatur organisasi masyarakat di kabilah-kabilah yang telah memeluk Islam dan menjadi bagian dari persekutuan Islam. Petugas keamanan dan para da'i dikirimnya ke berbagai daerah untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam, mengatur peradilan Islam, dan memungut zakat. Salah seorang di antara petugas itu adalah Mu'az bin Jabal yang dikirim oleh Nabi SAW ke Yaman. Ketika itulah hadist Mu'az yang terkenal muncul, yaitu perintah Nabi SAW agar Mu'az menggunakan pertimbangan akalnya dalam mengatur persoalan-persoalan agama apabila ia tidak menemukan petunjuk dalam Al-Qur'an dan hadist Nabi SAW.
Setelah upacara haji yang lain disempurnakan, Nabi Muhammad SAW kembali ke Madinah. Disinilah ia menghabiskan sisa hidupnya. Ia mengatur organisasi masyarakat di kabilah-kabilah yang telah memeluk Islam dan menjadi bagian dari persekutuan Islam. Petugas keamanan dan para da'i dikirimnya ke berbagai daerah untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam, mengatur peradilan Islam, dan memungut zakat. Salah seorang di antara petugas itu adalah Mu'az bin Jabal yang dikirim oleh Nabi SAW ke Yaman. Ketika itulah hadist Mu'az yang terkenal muncul, yaitu perintah Nabi SAW agar Mu'az menggunakan pertimbangan akalnya dalam mengatur persoalan-persoalan agama apabila ia tidak menemukan petunjuk dalam Al-Qur'an dan hadist Nabi SAW.
Pada saat-saat itu pula wahyu Allah SWT yang terakhir
turun:
"... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nimat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu
jadi agamamu ..." (QS. 5: 3)
Mendengar ayat ini, banyak orang yang bergembira karena telah sempurna agama mereka, tetapi ada pula yang menangis, seperti Abu Bakar, karena mengetahui bahwa ayat itu jelas merupakan pertanda berakhirnya tugas Rasulullah SAW.
Mendengar ayat ini, banyak orang yang bergembira karena telah sempurna agama mereka, tetapi ada pula yang menangis, seperti Abu Bakar, karena mengetahui bahwa ayat itu jelas merupakan pertanda berakhirnya tugas Rasulullah SAW.
Wafatnya Nabi SAW
Dua bulan setelah menunaikan ibadah haji wada' di Madinah, Nabi SAW sakit demam. Meskipun badannya mulai lemah, ia tetap memimpin shalat berjamaah. Baru setelah kondisinya tidak memungkinkan lagi, yaitu 3 hari menjelang wafatnya, ia tidak mengimami shalat berjamaah. Sebagai gantinya ia menunjuk Abu Bakar sebagai imam shalat. Tenaganya dengan cepat semakin berkurang.
Dua bulan setelah menunaikan ibadah haji wada' di Madinah, Nabi SAW sakit demam. Meskipun badannya mulai lemah, ia tetap memimpin shalat berjamaah. Baru setelah kondisinya tidak memungkinkan lagi, yaitu 3 hari menjelang wafatnya, ia tidak mengimami shalat berjamaah. Sebagai gantinya ia menunjuk Abu Bakar sebagai imam shalat. Tenaganya dengan cepat semakin berkurang.
Pada tanggal 13 Rabiulawal 11/8 Juni 632, Nabi Muhammad
SAW menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumah istrinya, Aisyah binti Abu
Bakar, dengan wasiat terakhir, "Ingatlah shalat, dan taubatlah...".